Wonosobo - pengrajin pandai besi di Desa Krasak masih semangat meskipun masih memakai alat manual. kondisi tersebut bisa dilihat dirumah Bapak Udin, Kamis (25/01/2018). Di tengah kemajuan zaman, semestinya warisan nenk moyang ini (Pande Besi) harus mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah setempat maupun nasional.


Desa yang terkenal sebagai centra pande besi di jawa tengah ini jika tidak segera diberdayakan akan punah. Sebab generasi muda di desa tersebut belum memiliki motivasi untuk melanjutkan yang dilakukan orang-orang tua.

[Rep. Ulin/Edit. Ari]


Wonosobo - Klinik Teknologi Tepat Guna (TTG) yang diampu oleh Tomy Ajunanto dan Aliyud dari Balai Pengembangan Teknologi Logam dan Kayu (BPTLK) Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Tengah (Disperindag Jateng) memberikan pendampingan dan pemberdayaan pemanfaatan teknologi tepat guna (24-26 Januari 2018) di desa Krasak, Mojotengah Wonosobo.

Pendampingan di desa Krasak Wonosobo ini dimaksudkan untuk meningkatkan Potensi Desa setempat yakni kerajinan produksi pertanian (Pande Besi). Program ini memiliki alasan karena Desa Krasak Wonosobo yang sudah menjadi centra Industri alat-alat pertanian harus terus melakukan evaluasi dan pengembangan di tengah ketatnya kompetisi dan kemajuan zaman.

Klinik TTG ini diperuntukkan kepada warga desa Krasak yang kebanyakan memiliki profesi sebagai pengrajin Pande Besi, serta kepada Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD) yang diharapkan mampu menjadi jalan keluar dari masalah sulitnya penggunaan internet di desa dan memberi jalan untuk mudahnya marketing melalui online untuk dapat memasarkan hasil produksi dari para pelaku industri Pande Besi di Desa Krasak.

Pengidentifikasian Masalah

Dipilihnya desa Krasak sebagai lokasi program ini dikarenakan tim (Tomy Ajunanto dan Aliyud) pada 6-7 November 2017 menemukan berbagai macam masalah di lapangan seperti kurangnya sentuhan teknologi produksi alat pertanian, sulitnya regenerasi Pande Besi, dan banyak lagi.

Sedangkan problem eksternal diantaranya seperti mekanisasi pertanian yang ada, belum mampu dipenuhi oleh masyarakat Jawa Tengah sendiri. Namun masih bergantung dengan impor. Padahal, di Jawa Tengah sendiri telah memiliki centra-centra industri pengolahan logam dan besi seperti di Krasak Wonosobo ini. Sehingga Tim berani memantapkan diri untuk melakukan penyulusan, pendampingan dan pemberdayaan.

Setelah melalui identifikasi masalah, Tim Tomy dan Aliyud memaparkan hasil kajian atau identifikasi yang ditemukan di Desa Krasak kemudian memperoleh rekomendasi pengembangan atas hal tersebut.

Proses Pemberdayaan

Setelah memperoleh rekomendasi, Tim Tomy dan Aliyud mengambil langkah berupa Workshop dan Pelatihan Teknologi Tepat Guna (TTG) yang diselenggarakan pada 24-26 Januari 2018. Kegiatan tersebut resmi dilaksanakan dan berlokasi di Kantor Desa Krasak, Mojotengah, Wonosobo.

Dalam prosesnya, Tim memberikan pemaparan kepada warga yang mengikuti agenda tersebut perihal pentingnya pemanfaatan teknologi tepat guna dan pengembangan Badan Usaha Milik Desa (BUMDES). Peserta yang mengikuti agenda tersebut lebih dari 40 orang dan terlihat begitu antusias.

Di hari kedua proses, Tim membekali Desa Krasak, tepatnya KPMD Desa Krasak dengan Pelatihan "Desa Digital" dan "Making Brand and Marketing Socmed" yang output dari pelatihan tersebut dapat mendukung kemajuan demi kemajuan potensi yang dikembangkan Desa Krasak yakni Centra Pande Besi.



Dalam pelatihan tersebut, Tim juga melakukan peliputan ke lapangan secara langsung (wawancara, dokumentasi; foto dan video) kepada para pelaku industri yang sedang bergelut dengan pekerjaannya yang terbilang masih tradisional dan masih butuh pemberdayaan lanjutan. [Li/Ka]

Pernahkah Anda melihat sebuah mata air ajaib? Nah, kali ini Anda akan dibuat kagum oleh sebuah  keanehan yang muncul di sebuah kolam mata air yang bisa muncul tiba-tiba saat dipanggil oleh orang yang datang. Seperti apa?

Terletak di dusun Kali Bening, desa Krasak, kecamatan Mojotengah, kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, keajaiban alam itu benar-benar terjadi. Sebuah kolam berukuran 55 meter persegi yang masih alami, terdapat keunikan yang dinamakan 'Tuk Sewu' atau dalam bahasa Indonesia berarti mata air yang berjumlah seribu.

Kendati tidak benar-benar berjumlah seribu, namun saat “dipanggil”, dari kolam yang berukuran tak terlalu besar itu, akan bermunculan banyak gelembung mata air. Aneh memang. Biasanya air itu bisa merespon orang yang mencelupkan kakinya di dalam kolam dan mengucapkan kata "Tuk Sewu."

Cerita tentang Tuk Sewu memang sudah melegenda di sekitar masyarakat sekitar. Tepatnya telah menjadi sebuah cerita rakyat. Anak-anak desa yang berada di sekitar kolam Tuk Sewu seringkali bermain air alami ini. Meski kerap dipanggil berkali ulang, tapi seribu mata air itu tetap saja muncul, ibarat menjawab sang pemanggil.

Mata Air Tuk Sewu di Wonosobo, Jawa Tengah

Iriono,35, tokoh masyarakat sekitar mengatakan, keanehan seribu luapan mata air di kolam desanya memang sudah terjadi sejak puluhan tahun silam. Namun jarang yang mengetahui, karenanya seribu mata air ajaib itu hingga kini belum masuk menjadi destinasi wisata di kabupaten Wonosobo.

"Dulu, di sekitar kolam ada pohon beringin besar yang menjulang tinggi. Banyak yang percaya keajaiban Tuk Sewu ini karena ada penunggu pohon yang menjawab sapaan orang yang datang, " kata dia kepada VIVA co.id.

Namun, beberapa tahun terakhir pohon beringin besar itu telah ditebang oleh pemiliknya. Sehingga, pada akhirnya kolam Tuk Sewu itu kini seolah tak terawat. Meski letupan-letupan mata air tersebut kini masih kerap muncul.

"Kesakralan mata air ini seolah hilang saat pohonnya tumbang. Tapi mata air ini masih kerap dipakai penduduk sekitar," kata dia.

Iriono menambahkan, keajaiban Tuk Sewu yang kerap muncul saat dipanggil hingga kini dipercaya menjadi simbol kesejahteraan masyarakat sekitar. Tiap bulan Syuro (bulan Jawa) air itu kerap dipakai untuk upacara.

“Istilahnya 'merti deso' yang artinya tasyakuran desa,” tuturnya, sembari menambahkan lokasi mata air kini disakralkan.

Padahal, di desa sekitar, banyak terdapat mata air alami lainnya, terutama di area lereng gunung Sindoro dan dataran tinggi Dieng.

"Di sini ada tujuh jenis mata air yang berada di beberapa tempat. Saat tasyakuran desa memang disyaratkan mengambil air dari tujuh mata air itu untuk menyatukan perbedaan," beber dia. (ren/viva)


Desa Krasak berdiri pada tahun yang tidak di ketahui kepastiannya, namun diperkirakan sudah ada sekitar tahun 1800an Masehi, hal tersebut dibuktikan dengan ditemukannya tempat persinggahan / peristirahatan Pangeran Diponegoro pada masa perang melawan penjajah kolonial Belanda yang terdapat di Dusun Kalibening. 

Sejarah ini berdasarkan cerita  turun temurun dari masyarakat desa, dari hasil sejarah yang terangkum diambil dari berbagai sumber, diantaranya tokoh-tokoh masyarakat yang memahami seluk beluk sejarah desa Krasak antara lain :

1. Bp. Rusmin Matyuri : Kepala Dusun (Kadus) Kalibening
2. Bp. KH. Mualif : Tokoh masyarakat

Tokoh-tokoh masyarakat tersebut menceritakan asal usul Desa Krasak sesuai dengan apa yang beliau ketahui, dikisahkan dari pendahulu-pendahulu beliau.

Desa Krasak bermula dari dua dusun yaitu Dusun Kalibening dan Dusun Krasak. Yang kemudian menyusul kampung Sibunderan yang berada disebelah barat desa Krasak perbatasan antara Desa Krasak dengan Kelurahan Kalibeber.

Dari keterangan berbagai sumber, dahulu Desa Krasak terdapat pemukiman warga yang berada di sebelah selatan makam RW 01 atau sebelah timur lapangan (sekarang desa Krasak sebelah Timur). Daerah tersebut bernama Kampung Palugon, nama Palugon diambil dari tokoh kampung yang bernama Mbah Jayeng Palugon. 

Alkisah pada suatu masa Kampung  Palugon terserang wabah penyakit (Pageblug : bahasa dahulu) yang menyerang warga kampung. Sehingga menyebabkan banyak warga meninggal dunia akibat sakit yang tidak diketahui sumbernya. Banyak versi yang mengandung unsur mistik sebagai sumber penyakit yang menjangkit warga. Jika diteliti pada masa sekarang kemungkinan bisa terdeteksi apa penyebab pageblug pada masa itu.

Dengan adanya bencana tersebut Mbah Jayeng Palugon berinisiatif memindahkan Kampung Palugon ke sebelah utara makam RW 01, dari perpindahan tersebut terjadi penyebaran warga yang kemudian berkembang pesat diseluruh penjuru Desa Krasak.

Namun, tidak serta merta perpindahan Kampung Palugon langsung berubah menjadi Desa Krasak, karena awal mulanya di sebelah timur Kampung Palugon terdapat satu keluarga yang menetap di hutan belantara (sekarang : Kalibening). Oleh karena itu sebelum kita melanjutkan ke sejarah Desa Krasak, akan diceritakan terlebih dahulu asal mula Dusun Kalibening yang merupakan salah satu dusun di Desa Krasak.

Permulaan sejarah Desa Krasak masih terkait juga dengan sejarah Wonosobo yang ditengarai dengan datangnya 3 tokoh pada abad ke 17, yaitu Kyai Kolodete, Kyai Walik, Kyai Karim. Ketiganya datang ke Wonosobo dengan sanak keluarganya (yang kini tersebar luas di daerah Wonosobo).

Saat itu kondisi Wonosobo masih merupakan hamparan hutan belantara yang amat menakutkan termasuk wilayah Desa Krasak pada masa itu, dua gunung pengayom mengawasi dari timur, gunung Sumbing dan gunung Sindoro, singkat kata jarang orang berani mengarungi hutan kawasan Wonosobo, bebasan “SATO MARA KEPLAYU, JANMA MARA JATI” yang artinya dalam bahasa jawa Kewan teka minggat, Manungso teka mati kalau dibahasakan ke dalam bahasa Indonesia berarti Hewan datang akan menghindar, Manusia datang akan mati.

Tiga tokoh di atas diyakini keberaniannya telah berhasil mendirikan kota Wonosobo dengan peran masing-masing. Sejarah Kabupaten Wonosobo dan Desa Krasak juga berkaitan erat dengan masa perang Diponegoro. Pangeran Diponegoro merupakan tokoh besar pejuang melawan penjajahan Belanda di Indonesia, khususnya tanah Jawa. Di rentang tahun 1825-1830, daerah ini adalah salah satu basis pertahanan pasukan pendukung Pangeran Diponegoro, dengan kondisi alam yang menguntungkan serta dukungan masyarakat yang sangat besar terhadap perjuangan tersebut. Beberapa medan pertempuran yang menandai perjuangan pasukan pendukung Pangeran Diponegoro termasuk Desa Krasak pada masa itu.

Kabupaten Wonosobo berdiri 24 Juli 1845 sebagai Kabupaten di bawah Kesultanan Yogyakarta seusai pertempuran dalam Perang Diponegoro. Kyai Moh Ngampah, yang membantu Diponegoro, diangkat sebagai bupati pertama dengan gelar Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.) Setjonegoro. Selanjutnya pada masa perang Diponegoro (1825 - 1930), di abad XVIII seorang warga  keturunan kasultanan  Yogyakarta yang bernama Raden Joyo Kencono atau yang lebih dikenal dengan Barokah atau Mbah Beruk  bermukim di hutan belantara di timur Kampung Palugon, hal tersebut berdasarkan bukti di temukannya makam Mbah Beruk di makam Dusun Kalibening.

Pangeran Diponegoro merupakan putra dari Sultan Hamengku Buwono III dari selir Raden Ayu Mengkarawati (putri dari Bupati Pacitan). Beliau memiliki strategi perang yang khas yakni berpindah-pindah lokasi dibeberapa wilayah disekitar Pulau Jawa. Lokasi persinggahan ini kerap disebut sebagai “petilasan”.  Di wilayah Dusun Kalibening juga  di temukan petilasan tempat peristirahatan, semedi atau ibadah beliau. Petilasan tersebut berupa sebuah batu besar berukuran sekitar 2 x 2 meter yang menghadap persis kearah kiblat. Batu itu menurut kepercayaan masyarakat pernah digunakan oleh beliau untuk sholat.

Batu tersebut terletak di hutan bambu milik warga sekitar yang sampai sekarang masih sangat alami karena belum pernah dilakukan pemugaran pada petilasan tersebut.  Menurut tokoh setempat Bapak Rusmin Matsyuri selaku Kadus II Dusun Kalibening, bahwa petilasan tersebut berupa batu kali yang cukup besar dan berbentuk rata. Untuk menjaga keAsrian di sekitar tempat tersebut ditanami tanaman-tanaman. Selain batu untuk tempat shalat terdapat juga dua makam di sebelah kanan dan kiri petilasan. Makam tanpa nisan itu disebut sebagai pejuang yang membantu Diponegoro pada masa itu. Sementara di belakang batu petilasan terdapat kolam kecil yang berdiameter 10 (sepuluh) meter yang merupakan mata air alami.

Konon menurut cerita, mata air tersebut mengalir berkat tongkat pusaka milik Pangeran Diponegoro yang ditancapkan ke tanah, sehingga mengeluarkan air yang digunakan beliau untuk berwudhu. Air tersebut hingga kini banyak dimanfaatkan warga sekitar untuk kebutuhan minum dan lain sebagainya. Ada sebagian orang yang memanfaatkannya untuk keberuntungan pertanian. Ihwal petilasan Diponegoro tersebut diakui masyarakat memang belum populer seperti petilasan lain di tanah Jawa. Meski demikian, sejumlah tokoh yang memiliki spiritualitas tinggi kerap singgah dan bersemedi di lokasi petilasan tersebut.

Pada abad ke XVIII, di wilayah hutan belantara Mbah Beruk atau Joyo Kencono bersama dengan pangeran Diponegoro dalam gerilyanya melawan penjajahan Belanda secara tidak sengaja menemukan 7 mata air, yang hingga kini sumber mata air tersebut masih digunakan oleh warga sekitar.  Ke 7 (tujuh) mata air yang ditemukan bernama :

Sianyes : (berada di sebelah selatan pemukiman Kalibening, tepatnya di wilayah RT 003 RW 003)
Siwani
Sirukem (berada di atas wilayah RT 005 / RW 003, )
Sipawon
Mbelik (tuk sewu) yang member nama adalah Pangeran Diponegoro
Kali Leler
Singget

Ke 7 (tujuh) sumber air tersebut menghasilkan air yang sangat bersih, sehingga wilayah atau daerah tersebut di namakan Kalibening, kali (bahasa Jawa)  artinya air / sungai dalam bahasa Indonesia, dan Bening yaitu jernih, karenanya Kalibening adalah air yang jernih. Ke 7 (tujuh) nama mata air yang ada di Desa Krasak enam mata air diantaranya diberi nama oleh Mbah Beruk (Raden Joyo Kencono), sedangkan salah satunya yaitu mbelik  dan tuk sewu diberi nama oleh Pangeran Diponegoro.

Setelah Mbah Beruk wafat, munculah tokoh ulama yang menyebarkan Agama Islam yang bernama Kiai Hasan Toyib dan Kiai Hasan Darda yang merupakan cikal bakal keturunan warga Kalibening, Mbah Hasan Toyib adalah salah satu murid dari KH Ahmad  Rifa’ie (Pahlawan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden Tanggal 05 Oktober Tahun 2014 Oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono) yang kemudian berkembang faham Rifa’iyah diwilayah Dusun Kalibening. Beliau hidup di Kalibening sekitar tahun 1850 an. Dari beliau inilah nantinya Kalibening dan Palugon menjadi satu, yang bernama Krasak.

Desa Krasak juga memiliki seorang yang berpengaruh hingga saat ini, beliau adalah Mbah Empu Sirwangi atau yang lebih dikenal dengan sebutan Mbah Tuntheng. Disebut Mbah Tuntheng karena selama proses pande besi beliau badannya hitam kotor akibat terpapar pembakaran arang yang menjadi unsur pembakaran besi.  Beliau memberikan potensi budaya yang cukup berarti bagi warga masyarakat Desa Krasak karena mewarisi kepandaian pande besi.

Dengan adanya Mbah Tuntheng warga masyarakat Desa Krasak mayoritas bekerja sebagai pande besi atau pekerjaan yang berhubungan dengan pengolahan besi seperti perdagangan bahan mentah, maupun hasil jadi yang bermacam-macam jenisnya seperti cangkul, sabit, tralis, mesin pencacah tembakau, pisau dll.

Desa Krasak yang sekarang memiliki potensi besar dalam berbagai bidang berkat tokoh-tokoh perintis maupun yang memajukan Desa Krasak hingga saat ini. Sebuah Desa yang besar adalah desa yang tidak melupakan sejarah dan tokoh-tokoh perintis desa, dengan menghormati ragam budaya dan kepercayaan dalam beribadah yang berbeda-beda. Desa Krasak merupakan contoh desa yang tentram dan saling menjaga kerukunan walaupun terdapat berbagai organisasi sosial kemasyarakatan yang berbeda.

Desa Krasak pada masa Mbah Jayeng Palugon tersebut, belum terdapat struktur kelembagaan pemerintah seperti saat ini. Hingga mulai pemerintahan kepala Desa pertama yaitu Mbah Glondong (tahun 1914) sampai dengan masa pemerintahan Bp. Kholiq Hidayat (saat ini) sudah dijabat oleh 17 (tujuh belas) kepala desa dengan masa jabatan yang berbeda-beda.

Top Ad unit 728 × 90