Desa Krasak berdiri pada tahun yang tidak di ketahui kepastiannya, namun diperkirakan sudah ada sekitar tahun 1800an Masehi, hal tersebut dibuktikan dengan ditemukannya tempat persinggahan / peristirahatan Pangeran Diponegoro pada masa perang melawan penjajah kolonial Belanda yang terdapat di Dusun Kalibening.
Sejarah ini berdasarkan cerita turun temurun dari masyarakat desa, dari hasil sejarah yang terangkum diambil dari berbagai sumber, diantaranya tokoh-tokoh masyarakat yang memahami seluk beluk sejarah desa Krasak antara lain :
1. Bp. Rusmin Matyuri : Kepala Dusun (Kadus) Kalibening
2. Bp. KH. Mualif : Tokoh masyarakat
Tokoh-tokoh masyarakat tersebut menceritakan asal usul Desa Krasak sesuai dengan apa yang beliau ketahui, dikisahkan dari pendahulu-pendahulu beliau.
Desa Krasak bermula dari dua dusun yaitu Dusun Kalibening dan Dusun Krasak. Yang kemudian menyusul kampung Sibunderan yang berada disebelah barat desa Krasak perbatasan antara Desa Krasak dengan Kelurahan Kalibeber.
Dari keterangan berbagai sumber, dahulu Desa Krasak terdapat pemukiman warga yang berada di sebelah selatan makam RW 01 atau sebelah timur lapangan (sekarang desa Krasak sebelah Timur). Daerah tersebut bernama Kampung Palugon, nama Palugon diambil dari tokoh kampung yang bernama Mbah Jayeng Palugon.
Alkisah pada suatu masa Kampung Palugon terserang wabah penyakit (Pageblug : bahasa dahulu) yang menyerang warga kampung. Sehingga menyebabkan banyak warga meninggal dunia akibat sakit yang tidak diketahui sumbernya. Banyak versi yang mengandung unsur mistik sebagai sumber penyakit yang menjangkit warga. Jika diteliti pada masa sekarang kemungkinan bisa terdeteksi apa penyebab pageblug pada masa itu.
Dengan adanya bencana tersebut Mbah Jayeng Palugon berinisiatif memindahkan Kampung Palugon ke sebelah utara makam RW 01, dari perpindahan tersebut terjadi penyebaran warga yang kemudian berkembang pesat diseluruh penjuru Desa Krasak.
Namun, tidak serta merta perpindahan Kampung Palugon langsung berubah menjadi Desa Krasak, karena awal mulanya di sebelah timur Kampung Palugon terdapat satu keluarga yang menetap di hutan belantara (sekarang : Kalibening). Oleh karena itu sebelum kita melanjutkan ke sejarah Desa Krasak, akan diceritakan terlebih dahulu asal mula Dusun Kalibening yang merupakan salah satu dusun di Desa Krasak.
Permulaan sejarah Desa Krasak masih terkait juga dengan sejarah Wonosobo yang ditengarai dengan datangnya 3 tokoh pada abad ke 17, yaitu Kyai Kolodete, Kyai Walik, Kyai Karim. Ketiganya datang ke Wonosobo dengan sanak keluarganya (yang kini tersebar luas di daerah Wonosobo).
Saat itu kondisi Wonosobo masih merupakan hamparan hutan belantara yang amat menakutkan termasuk wilayah Desa Krasak pada masa itu, dua gunung pengayom mengawasi dari timur, gunung Sumbing dan gunung Sindoro, singkat kata jarang orang berani mengarungi hutan kawasan Wonosobo, bebasan “SATO MARA KEPLAYU, JANMA MARA JATI” yang artinya dalam bahasa jawa Kewan teka minggat, Manungso teka mati kalau dibahasakan ke dalam bahasa Indonesia berarti Hewan datang akan menghindar, Manusia datang akan mati.
Tiga tokoh di atas diyakini keberaniannya telah berhasil mendirikan kota Wonosobo dengan peran masing-masing. Sejarah Kabupaten Wonosobo dan Desa Krasak juga berkaitan erat dengan masa perang Diponegoro. Pangeran Diponegoro merupakan tokoh besar pejuang melawan penjajahan Belanda di Indonesia, khususnya tanah Jawa. Di rentang tahun 1825-1830, daerah ini adalah salah satu basis pertahanan pasukan pendukung Pangeran Diponegoro, dengan kondisi alam yang menguntungkan serta dukungan masyarakat yang sangat besar terhadap perjuangan tersebut. Beberapa medan pertempuran yang menandai perjuangan pasukan pendukung Pangeran Diponegoro termasuk Desa Krasak pada masa itu.
Kabupaten Wonosobo berdiri 24 Juli 1845 sebagai Kabupaten di bawah Kesultanan Yogyakarta seusai pertempuran dalam Perang Diponegoro. Kyai Moh Ngampah, yang membantu Diponegoro, diangkat sebagai bupati pertama dengan gelar Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.) Setjonegoro. Selanjutnya pada masa perang Diponegoro (1825 - 1930), di abad XVIII seorang warga keturunan kasultanan Yogyakarta yang bernama Raden Joyo Kencono atau yang lebih dikenal dengan Barokah atau Mbah Beruk bermukim di hutan belantara di timur Kampung Palugon, hal tersebut berdasarkan bukti di temukannya makam Mbah Beruk di makam Dusun Kalibening.
Pangeran Diponegoro merupakan putra dari Sultan Hamengku Buwono III dari selir Raden Ayu Mengkarawati (putri dari Bupati Pacitan). Beliau memiliki strategi perang yang khas yakni berpindah-pindah lokasi dibeberapa wilayah disekitar Pulau Jawa. Lokasi persinggahan ini kerap disebut sebagai “petilasan”. Di wilayah Dusun Kalibening juga di temukan petilasan tempat peristirahatan, semedi atau ibadah beliau. Petilasan tersebut berupa sebuah batu besar berukuran sekitar 2 x 2 meter yang menghadap persis kearah kiblat. Batu itu menurut kepercayaan masyarakat pernah digunakan oleh beliau untuk sholat.
Batu tersebut terletak di hutan bambu milik warga sekitar yang sampai sekarang masih sangat alami karena belum pernah dilakukan pemugaran pada petilasan tersebut. Menurut tokoh setempat Bapak Rusmin Matsyuri selaku Kadus II Dusun Kalibening, bahwa petilasan tersebut berupa batu kali yang cukup besar dan berbentuk rata. Untuk menjaga keAsrian di sekitar tempat tersebut ditanami tanaman-tanaman. Selain batu untuk tempat shalat terdapat juga dua makam di sebelah kanan dan kiri petilasan. Makam tanpa nisan itu disebut sebagai pejuang yang membantu Diponegoro pada masa itu. Sementara di belakang batu petilasan terdapat kolam kecil yang berdiameter 10 (sepuluh) meter yang merupakan mata air alami.
Konon menurut cerita, mata air tersebut mengalir berkat tongkat pusaka milik Pangeran Diponegoro yang ditancapkan ke tanah, sehingga mengeluarkan air yang digunakan beliau untuk berwudhu. Air tersebut hingga kini banyak dimanfaatkan warga sekitar untuk kebutuhan minum dan lain sebagainya. Ada sebagian orang yang memanfaatkannya untuk keberuntungan pertanian. Ihwal petilasan Diponegoro tersebut diakui masyarakat memang belum populer seperti petilasan lain di tanah Jawa. Meski demikian, sejumlah tokoh yang memiliki spiritualitas tinggi kerap singgah dan bersemedi di lokasi petilasan tersebut.
Pada abad ke XVIII, di wilayah hutan belantara Mbah Beruk atau Joyo Kencono bersama dengan pangeran Diponegoro dalam gerilyanya melawan penjajahan Belanda secara tidak sengaja menemukan 7 mata air, yang hingga kini sumber mata air tersebut masih digunakan oleh warga sekitar. Ke 7 (tujuh) mata air yang ditemukan bernama :
•
Sianyes : (berada di sebelah selatan pemukiman Kalibening, tepatnya di wilayah RT 003 RW 003)
•
Siwani
•
Sirukem (berada di atas wilayah RT 005 / RW 003, )
•
Sipawon
•
Mbelik (tuk sewu) yang member nama adalah Pangeran Diponegoro
•
Kali Leler
•
Singget
Ke 7 (tujuh) sumber air tersebut menghasilkan air yang sangat bersih, sehingga wilayah atau daerah tersebut di namakan Kalibening, kali (bahasa Jawa) artinya air / sungai dalam bahasa Indonesia, dan Bening yaitu jernih, karenanya Kalibening adalah air yang jernih. Ke 7 (tujuh) nama mata air yang ada di Desa Krasak enam mata air diantaranya diberi nama oleh Mbah Beruk (Raden Joyo Kencono), sedangkan salah satunya yaitu mbelik dan tuk sewu diberi nama oleh Pangeran Diponegoro.
Setelah Mbah Beruk wafat, munculah tokoh ulama yang menyebarkan Agama Islam yang bernama Kiai Hasan Toyib dan Kiai Hasan Darda yang merupakan cikal bakal keturunan warga Kalibening, Mbah Hasan Toyib adalah salah satu murid dari KH Ahmad Rifa’ie (Pahlawan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden Tanggal 05 Oktober Tahun 2014 Oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono) yang kemudian berkembang faham Rifa’iyah diwilayah Dusun Kalibening. Beliau hidup di Kalibening sekitar tahun 1850 an. Dari beliau inilah nantinya Kalibening dan Palugon menjadi satu, yang bernama Krasak.
Desa Krasak juga memiliki seorang yang berpengaruh hingga saat ini, beliau adalah Mbah Empu Sirwangi atau yang lebih dikenal dengan sebutan Mbah Tuntheng. Disebut Mbah Tuntheng karena selama proses pande besi beliau badannya hitam kotor akibat terpapar pembakaran arang yang menjadi unsur pembakaran besi. Beliau memberikan potensi budaya yang cukup berarti bagi warga masyarakat Desa Krasak karena mewarisi kepandaian pande besi.
Dengan adanya Mbah Tuntheng warga masyarakat Desa Krasak mayoritas bekerja sebagai pande besi atau pekerjaan yang berhubungan dengan pengolahan besi seperti perdagangan bahan mentah, maupun hasil jadi yang bermacam-macam jenisnya seperti cangkul, sabit, tralis, mesin pencacah tembakau, pisau dll.
Desa Krasak yang sekarang memiliki potensi besar dalam berbagai bidang berkat tokoh-tokoh perintis maupun yang memajukan Desa Krasak hingga saat ini. Sebuah Desa yang besar adalah desa yang tidak melupakan sejarah dan tokoh-tokoh perintis desa, dengan menghormati ragam budaya dan kepercayaan dalam beribadah yang berbeda-beda. Desa Krasak merupakan contoh desa yang tentram dan saling menjaga kerukunan walaupun terdapat berbagai organisasi sosial kemasyarakatan yang berbeda.
Desa Krasak pada masa Mbah Jayeng Palugon tersebut, belum terdapat struktur kelembagaan pemerintah seperti saat ini. Hingga mulai pemerintahan kepala Desa pertama yaitu Mbah Glondong (tahun 1914) sampai dengan masa pemerintahan Bp. Kholiq Hidayat (saat ini) sudah dijabat oleh 17 (tujuh belas) kepala desa dengan masa jabatan yang berbeda-beda.